Psikologi Pendidikan: Mengelola Kelas
July 02, 2017
Mengelola
kelas (manajemen kelas) yang efektif memiliki dua tujuan utama, yaitu :
1.
Membantu
murid menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar dan lebih sedikit waktu
untuk aktivitas yang tidak mengarah pada tujuan.
2.
Mencegah
murid mengembangkan masalah akademis dan emosional.
Kelas yang Besar, Kompleks, dan
Berpotensi Menimbulkan Kekacauan
Walter Doyle (1986) mendiskripsikan enam
karakteristik yang merefleksikan kompleksitas dan potensi problemnya :
1.
Kelas adalah multidimensional. Ruang kelas adalah tempat untuk
banyak aktivitas akademik (membaca, menulis) dan aktivitas sosial (permainan,
berkomunikasi dengan teman, berargumentasi).
2.
Aktivitas terjadi secara simultan
(bersamaan).
Sekumpulan murid menulis di meja mereka, kumpulan murid yang lain mendiskusikan
sebuah kisah bersama guru.
3.
Hal-hal terjadi dengan cepat. Dua murid tiba-tiba berdebat
tentang kepemilikan buku catatan, seorang murid mengeluhkan bahwa murid lain
menyalin jawabannya.
4.
Kejadian seringkali tidak dapat
diprediksi.
Alarm kebakaran mati, komputer tidak berfungsi, ada pertemuan yang tidak
diumumkan sebelumnya.
5.
Hanya ada sedikit privasi. Sebagian besar dari apa yang terjadi
pada seorang murid diobservasi oleh murid lain, di lain pihak mereka mungkin
merasa bahwa guru bersikap tidak adil dalam cara mendisiplinkan seorang murid.
6.
Kelas punya sejarah. Murid punya kenangan tentang
apa yang terjadi di kelas pada waktu terdahulu. Mereka mengingat bagaimana guru
menangani masalah kedisiplinan sebelumnya, apakah guru bertindak sesuai
janjinya.
Memulai dengan benar
Kunci memulai kompleksitas kelas adalah dengan
menggunakan beberapa hari pertama dan beberapa minggu pertama dengan baik.
Waktu tersebut digunakan untuk :
1.
Menyampaikan
aturan dan prosedur yang Anda gunakan kepada kelas dan mengajak murid
bekerjasama untuk mematuhinya.
2.
Mengajak
murid terlibat aktif dalam semua aktivitas pembelajaran.
Penekanan pada Instruksi dan Suasana
Kelas yang Positif
Publik mengatakan bahwa kurangnya disiplin merupakan
masalah nomor satu di sekolah, tapi psikologi pendidikan lebih menekankan cara
mengembangkan dan mempertahankan lingkungan kelas yang positif untuk mendukung
pembelajaran (Evertson, Emmer, & Worsham, 2003). Murid sebagai pelajar
aktif yang terlibat dalam tugas-tugas berarti, berpikir secara reflektif dan
proaktif, serta sering berinteraksi dengan murid lain dalam pengalaman belajar
yang kolaboratif.
Menurut sejarah, kelas yang dikelola secara efektif
dideskripsikan sebagai “mesin yang diminyaki dengan baik”, tetapi metafora yang
lebih sesuai adalah “aktivitas sarang lebah”. Ini tidak berarti bahwa kelas
harus berisik dan kacau-balau. Malahan, murid harus belajar aktif dan terlibat
dalam tugas yang membuat mereka termotivasi daripada tenang dan duduk pasif di
kursi mereka. Seringkali mereka akan berinteraksi satu sama lain dan dengan
guru mereka saat mereka membangun pengetahuan dan pemahamannya.
B. Mendesain
Lingkungan Fisik Kelas
Prinsip Penyusunan Kelas (Evertson, Emmer, & Worsham,
2003)
1.
Kurangi
kepadatan di tempat lalu-lalang
2.
Pastikan
bahwa Anda bisa dengan mudah melihat semua murid.
3.
Materi
pengajaran yang sering digunakan dan persediaan murid menjadi mudah untuk
diakses.
4.
Pastikan
bahwa murid bisa dengan mudah melihat semua presentasi kelas.
Gaya Penyusunan Kelas (Crane, 2001; Fickes, 2001)
1.
Gaya Auditorium (auditorium style)
2. Gaya tatap muka (face-to-face
style)
3.
Gaya off-site (off-site style)
4.
Gaya seminar (seminar style)
5.
Gaya kluster (cluster style)
Personalisasi
Kelas
Untuk
mengubah ruang kelas agar mencerminkan karakteristik murid yang menggunakan
ruang tersebut, tempellah foto, karya seni, proyek tertulis para murid, grafik
yang menyebutkan hari ulang tahun serta ungkapan positif lain dari identitas
murid.
C.
Menciptakan Lingkungan yang Positif untuk Pembelajaran
Strategi
Umum
1. Menggunakan gaya otoritatif
Strategi manajemen kelas otoritatif akan
mendorong murid untuk menjadi pemikir yang independen dan pelaku yang
independen tetapi strategi ini masih menggunakan sedikit monitoring murid. Guru
yang otoritatif melibatkan murid dalam kerja sama give-and-take dan menunjukkan sikap perhatian kepada mereka. Guru
yang otoritatif akan menjelaskan aturan dan regulasi, serta menentukan standar
dengan masukan murid.
Gaya
otoritatif bertentangan dengan strategi otoritarian dan permisif yang tidak
efisien. Gaya manajemen kelas otoritarian
adalah gaya yang restriktif dan punitif. Fokus utamanya adalah menjaga
ketertiban di kelas, bukan pada pengajaran dan pembelajaran. Guru otoriter
sangat mengekang dan mengontrol murid dan tidak banyak melakukan percakapan
dengan mereka. Murid di kelas otoritarian ini cenderung pasif, mengekspresikan kekhawatiran
tentang perbandingan sosial, dan memiliki ketrampilan komunikasi yang buruk.
Gaya manajemen kelas permisif memberi banyak otonomi pada murid
tapi tidak memberi banyak dukungan untuk pengembangan keahlian pembelajaran
atau pengelolaan perilaku mereka. Output yang dihasilkan yaitu murid memiliki
ketrampilan akademis yang tidak memadahi dan pengendalian diri yang rendah.
2. Mengelola Aktivitas Kelas
Secara Efektif (Jacob
Kounin, 1970)
a) Menunjukkan seberapa jauh
mereka “mengikuti”. Kounin menggunakan istilah “withitness” untuk mendeskripsikan strategi dimana murid senantiasa
mengikuti apa yang terjadi. Guru seperti ini akan selalu memonitor murid secara
reguler.
b) Atasi situasi tumpang tindih
secara efektif. Contohnya ketika berjalan keliling ruangan dan memeriksa
pekerjaan murid, matanya tetap mengawasi seluruh kelas.
c) Menjaga kelancaran dan
kontinuitas pelajaran. Manajer yang efektif akan menjaga aliran pelajaran
tetap lancar, mempertahankan minat murid, dan menjaga murid agar tidak mudah
terganggu. Guru sebaiknya jangan meninggalkan aktivitas yang sedang berjalan
dengan alasan yang tidak jelas.
d) Libatkan murid dalam aktivitas
yang menantang. Aktivitas menantang yang dimaksud bukan aktivitas yang
terlalu sulit. Murid sering bekerja secara independen ketimbang diawasi oleh
guru.
Membuat, Mengajarkan, serta
Mempertahankan Aturan dan Prosedur
1. Membedakan Aturan dan Prosedur
Peraturan maupun prosedur adalah pernyataan
ekspektasi tentang perilaku (Evertson, Emma, & Worsham, 2003). Aturan fokus
pada ekspektasi umum atau khusus atau standar perilaku. Contoh aturan umum
yaitu “Hargai orang lain” sedangkan contoh aturan khusus yaitu “Dilarang
mengunyah permen karet di kelas”.
Prosedur (routines)
juga berisi ekspektasi tentang perilaku namun biasanya diterapkan untuk
aktivitas spesifik dan digunakan untuk mencapai tujuan, bukan untuk melarang
perilaku tertentu atau menciptakan standar umum. Contoh
prosedur : untuk meninggalkan ruangan (ijin pergi ke kamar kecil), kembali ke
ruangan (setelah jam makan siang), dan mengakhiri hari (setelah membersihkan
meja).
2. Mengajarkan Aturan dan
Prosedur
Cara terbaik untuk membuat murid belajar tentang
peraturan dan prosedur adalah dengan melibatkannya (diskusi) dalam menentukan
peraturan dan prosedur tersebut. Hal ini akan mendorong mereka untuk memikul
tanggung jawab lebih atas perilaku mereka sendiri (Emmer, Evertson, &
Worsham, 2003).
Membuat Murid Bekerja Sama
1.
Mengembangkan
hubungan yang positif dengan murid
2.
Membuat
murid berbagi dan memikul tanggung jawab
3.
Memberikan
hadiah terhadap perilaku yang tepat
·
Memilih
penguat yang efektif
·
Menggunakan
Prompts (dorongan) dan Shaping (pembentukan) secara efektif
·
Gunakan
hadiah untuk memberi informasi tentang penguasaan, bukan untuk mengontrol
perilaku murid
D.
Menjadi Komunikator yang Baik
Ketrampilan Berbicara
Menurut Florez (1999) strategi
yang bagus untuk berbicara secara jelas dengan kelas, yaitu :
1. Menggunakan tata bahasa dengan benar.
2. Memilih kosakata yang bisa dimengerti dan
sesuai untuk level murid.
3. Menerapkan strategi guna meningkatkan
kemampuan murid untuk memahami apa yang Anda katakan; seperti menekankan pada
kata-kata kunci; mengulang penjelasan; atau memantau pemahaman murid.
4. Berbicara dengan tempo yang tepat, tidak
terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
5. Tidak menyampaikan hal-hal yang kabur.
6. Menggunakan perencanaan dan pemikiran logis
sebagai dasar untuk berbicara secara jelas.
Pesan “Kamu dan “Saya”
Pesan
“Kamu” menurut pakar komunikasi adalah sebuah gaya yang tidak disukai dimana
pembicaraan tampak menghakimi orang dan menempatkannya dalam posisi defensif.
“Kamu” tersirat ketika seseorang mengatakan :
·
“Itu
benar-benar perkataan bodoh” (artinya: Ucapanmu benar-benar bodoh)
·
“Jauhi
diriku” (artinya: Kamu mengganggu hidup saya)
Adalah
mudah bagi Anda dan murid Anda terjebak dalam perangkap pesan “Kamu” dan kurang
menggunakan pesan “Aku” atau “Saya”. Pesan “Saya” akan merefleksikan perasaan
pembicara dan lebih baik ketimbang pernyataan “Kamu” yang mengandung nada
menghakimi. Pakar komunikasi merekomendasikan agar Anda mengganti pesan “Kamu”
menjadi pesan “Aku”. Dibawah ini adalah beberapa contoh pesan “Aku” :
·
Saya
marah karena keadaan jadi buruk.
·
Saya
tidak suka kalau janji tidak ditepati.
·
Saya
sedih kalau perasaan saya tidak diperhatikan.
Pesan “Kamu” sama seperti menghakimi
lawan bicara. Pesan “Aku” membantu menggeser percakapan ke arah yang
konstruktif dengan mengekspresikan perasaan Anda tanpa menghakimi orang lain.
Selanjutnya,
aspek lain dari komunikasi verbal yang melibatkan bagaimana orang-orang
menghadapi konflik, bisa dilakukan dalam 4 gaya, yaitu:
1. Gaya
agresif (agressive style)
·
Orang-orang
ini bersikap kasar, menuntut, bertindak dalam cara yang bermusuhan, dan tidak
peka terhadap perasaan orang lain.
2. Gaya manipulatif
(manipulative style)
·
Orang-orang
ini berusaha untuk mendapatkan apa yang ia inginkan dengan membuat orang lain
merasa bersalah/menyesal untuk dirinya. Mereka tidak mau bertanggung jawab
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi mereka memilih bertingkah sebagai
korban agar orang lain melakukan sesuatu untuknya.
3. Gaya
pasif (passive style)
·
Orang-orang
ini tidak tegas dan pasrah. Mereka membiarkan orang lain “menindas” dirinya.
Individu pasif ini tidak mengungkapkan perasaan mereka dan tidak membiarkan
orang lain mengetahui apa yang mereka inginkan.
4. Gaya
asertif (assertive style)
·
Orang-orang
ini berani mengungkapkan perasaan, meminta apa yang mereka inginkan, dan
berkata “tidak” untuk hal yang tidak mereka inginkan. Dari keempat gaya dalam menghadapi
konflik, Robert Alberti dan Michael Emmons (1995) mengatakan bahwa ketegasan
(assertiveness) bisa menciptakan hubungan yang positif dan konstruktif.
Rintangan
untuk Komunikasi Verbal yang Efektif (Gordon,
1970)
1. Kritik.
2. Memberikan julukan dan pelabelan
3. Menasihati
4. Mengatur-atur
5. Ceramah moral (moralizing
Memberi
Ceramah yang Efektif
Anda
bukan hanya akan berbicara di depan kelas setiap hari baik itu secara informal
maupun formal, tetapi Anda juga akan berkesempatan memberikan ceramah di dalam
pertemuan pendidikan atau komunitas. Berikut ini pedoman memberikan pidato yang
efektif (Alverno College, 1995) :
1. Jalin hubungan dengan audien.
2.
Kemukakan tujuan Anda.
3. Sampaikan ceramah secara efektif.
4. Ikuti konvensi yang sesuai.
5.
Tata ceramah dengan rapi.
6.
Masukkan bukti pendukung dan kembangkan
ceramah Anda.
7. Gunakan media secara efektif.
Ketrampilan Mendengarkan
Pendengar yang baik mendengarkan secara
aktif yang berarti memberikan perhatian penuh kepada pembicara, berfokus pada
isi intelektual dan emosional dari pesan. Dibawah ini adalah stategi untuk
mengembangkan ketrampilan mendengarkan (Santrock & Halonen, 2002) :
1. Beri perhatian cermat kepada
orang yang sedang berbicara. Ini akan menunjukkan bahwa Anda tertarik pada
apa yang dia katakan. Jangan lupa untuk mempertahankan kontak mata.
2. Parafrasa. Gunakan
parafrasa ketika seseorang berkata sesuatu yang penting. Nyatakan apa yang baru
saja orang lain katakan dengan kalimat Anda sendiri, misalnya “Apakah maksudmu
itu berarti bahwa ...”
3. Sintesiskan tema dan pola.
Situasi percakapan dapat menjadi penuh dengan kepingan informasi yang
kedengarannya tidak saling berhubungan dan membentuk makna. Pendengar aktif
yang baik akan meringkas tema, contoh kalimat yang dapat Anda gunakan, “Mari kita tinjau kembali apa yang sudah kita
bicarakan sampai titik ini ...”
4. Berikan umpan balik (tanggapan)
dengan cara yang kompeten. Tanggapan verbal maupun nonverbal membuat
pembicara sedikit mengerti seberapa jauh pesannya sampai sasaran. Pendengar
yang baik akan memberikan tanggapan secara cepat, jujur, jelas, dan informatif.
Berkomunikasi Secara Nonverbal
Berikut
ini contoh perilaku umum yang dilakukan orang untuk berkomunikasi secara
nonverbal :
1. Mengangkat alis sebagai tanda tak percaya.
2. Mengedipkan mata sebagai tanda persetujuan.
3. Mengangkat bahu sebagai tanda tak peduli.
4. Bersedekap untuk melindungi diri.
5. Menepuk dahi sebagai tanda lupa.
6. Mengetukkan jari sebagai tanda tak sabar.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam komunikasi non-verbal :
1. Ekspresi
wajah dan komunikasi mata
2. Sentuhan
3. Ruang
4. Diam
E.
Menangani Perilaku Bermasalah
Strategi Manajemen
Pakar
manajemen kelas Carolyn Evertson dan rekannya (Evertson, Emmer, & Worsham,
2003) membedakan antara intevensi minor dan intevensi moderat dalam menangani perilaku
bermasalah.
Intervensi Minor
Masalah ini melibatkan perilaku yang bila
tidak sering, biasanya tidak mengganggu aktivitas kelas dan pembelajaran.
Contoh: murid mungkin ribut sendiri, meninggalkan tempat duduknya tanpa ijin,
bercanda sendiri, dan makan permen di dalam kelas. Strategi untuk mengatasi
intervensi minor :
1. Gunakan isyarat nonverbal
2. Terus lanjutkan aktivitas belajar
3. Dekati murid
4. Arahkan perilaku
5. Beri instruksi yang dibutuhkan
6. Suruh murid berhenti dengan
nada tegas dan langsung
7. Beri murid pilihan
Intervensi moderat
Contoh: ketika murid
menyalahgunakan privilisenya, mengganggu aktivitas, cabut dari kelas, atau
mengganggu pelajaran atau mengganggu pekerjaan murid lain. Strategi untuk mengatasi
intervensi mayor :
1. Jangan beri privilise atau
aktivitas yang mereka inginkan
2. Buat perjanjian behavioral
3. Pisahkan atau keluarkan murid dari kelas
4. Kenakan hukuman atau sanksi
Menggunakan
Sumber Daya Lain
1. Mediasi teman sebaya
2.
Konferensi guru-orang tua
3.
Minta bantuan kepala sekolah atau konselor
4.
Cari mentor
Menangani
agresi
1. Perkelahian.
Pakar manajemen kelas Carolyn Evertson dan rekannya
(Evertson, Emmer, & Worsham, 2003) memberi rekomendasi untuk mengatasi
murid yang berkelahi. Di SD, Anda biasanya menghentikan perkelahian tanpa
risiko cedera pada diri Anda. Apabila karena suatu alasan Anda tidak bisa
campur tangan, cari bantuan dari guru lain atau staf sekolah. Apabila Anda
melakukan intervensi, beri perintah verbal dengan nada keras “Hentikan!”
Pisahkan murid yang berkelahi dan suruh mereka kembali ke aktivitas semula.
Akan tetapi jika Anda menengahi perkelahian anak SMP
atau SMA, Anda mungkin butuh bantuan satu atau dua orang dewasa lainnya.
Sekolah Anda mungkin punya kebijakan sendiri soal perkelahian ini. Jika ada,
Anda harus menerapkan kebijakan itu dan melibatkan kepala sekolah dan atau
orang tua murid jika diperlukan. Umumnya, adalah lebih baik mendinginkan pihak
yang bertengkar sehingga mereka bisa tenang dahulu. Kemudian pertemukan kedua
pihak yang berkelahi itu dan selidiki pendapat kedua pihak yang menyebabkan
pertikaian. Tanyai saksi mata apabila perlu. Adakan pertemuan dengan pihak-pihak
yang berkelahi, tekankan bahwa perkelahian adalah tindakan yang salah, dan
tunjukkan pentingnya memahami pandangan orang lain dan arti penting dari kerja
sama.
2. Bullying
Dalam studi ini, bullying
didefinisikan sebagai tindakan verbal atau fisik yang dimaksudkan untuk
mengganggu orang lain yang lebih lemah. Murid-murid Sekolah Menengah lebih
sering mengalami hal ini. Mengejek tampang dan ucapan adalah bullying yang sering dipakai. Anak-anak
yang dirinya dihina mengatakan bahwa mereka merasa kesepian, kesulitan menjalin
persahabatan, depresi, kehilangan minat untuk masuk sekolah, atau tidak mau
masuk sekolah; sedangkan anak-anak yang melakukan bullying kemungkinan adalah mereka yang berprestasi rendah atau
suka merokok dan minum-minuman beralkohol.
Dalam studi longitudinal lainnya, bullying meningkat selama masa sekolah
menengah pertama dan menurun pada masa sekolah menengah atas (Pellegrini &
Long, 2011). Dalam studi ini, sasaran bullying
adalah anak lelaki. Murid yang menjadi korban bullying dapat merasa tersiksa, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang (Limber, 1997). Efek bullying
di masa remaja awal dapat bertahan hingga dewasa.
3.
Pembangkangan atau Permusuhan terhadap guru.
Edmund Emmer dan
rekannya (Emmer,
Evertson, & Worsham, 2003) mendiskusikan strategi untuk menghadapi murid
yang membangkang atau memusuhi Anda. Jika murid dibiarkan berlaku seperti itu,
kemungkinan kelakuannya akan berlanjut dan menyebar. Jika mungkin, tanganilah
perilaku murid itu secara individual. Jika pembangkangannya tidak ekstrim dan
terjadi dalam satu pelajaran, cobalah katakan bahwa Anda akan membahasnya nanti
agar tidak terjadi perdebatan. Lalu, temui murid pada waktu yang tepat dan
jelaskan konsekuensi dari tindakan pembangkangan itu. Dalam kasus yang ekstrim
dan jarang, murid mungkin tidak mau bersikap kooperatif sama sekali. Maka Anda
harus minta bantuan.
Program
Berbasis Kelas dan Sekolah
Program untuk
mengatasi perilaku bermasalah menggunkan pendekatan pengayaan kompetensi sosial
dan resolusi konflik (Coie & Dodge, 1998).
1. Program pengayaan kompetensi sosial
Beberapa pakar
pendidikan berpendapat bahwa perencanaan sekolah yang terkoordinasi. kurikulum,
pengajaran bermutu tinggi, dan lingkungan sekolah yang suportif adalah hal-hal
yang dibutuhkan untuk menangani murid yang bermasalah dalam perilakunya
(Weissberg & Greenberg, 1998). Tipe program ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kompetensi sosial murid dengan meningkatkan keterampilan dalam
menghadapi hidup dan mengembangkan keahlian sosioemosional.
Periset telah
menemukan bahwa program yang hanya berbasis informasi dan pengetahuan hanya
akan memberi efek minimal pada perbaikan perilaku murid (Kirby, 1992).
Sebaliknya, program yang mengajarkan kompetensi sosial dan personal yang luas
terbukti bisa mengurangi perilaku yang bermasalah dan bahkan memperbaikinya (Greenberg,
1996; Weissberg, dkk., 1981). Program kompetensi itu mencakup kontrol diri,
manajemen stres, pemecahan masalah, pembuatan keputusan, komunikasi, resistensi
teman sebaya, dan asertivitas.
2. Proyek peningkatan kesadaran sosial-pemecahan
problem sosial.
Program ini
didesain untuk anak SD (Elias, dkk., 1991). Selama fase instruksional, guru
menggunakan pelajaran tertulis untuk memperkenalkan aktivitas kelas. Pelajaran
itu diberikan dalam format :
a)
Berbagi kisah kesuksesan personal,
situasi problem, dan perasaan yang ingin dibagi murid kepada guru dan
teman-temannya.
b)
Ulasan ringkas tentang keahlian kognitif,
emosional, atau behavioral yang akan diajarkan selama sesi pelajaran.
c)
Presentasi tulisan dan video situasi yang
membutuhkan aplikasi keahlian.
d)
Mendiskusikan situasi dan cara
menggunakan keahlian baru.
e)
Role-playing yang mendorong pelatihan
keahlian behavioral.
f)
Ringkasan dan ulasan.
Guru juga mengintegrasikan
aktivitas penyadaran sosial dan pemecahan masalah ke dalam aktivitas kelas dan
instruksi harian. Evaluasi menunjukkan bahwa program ini mampu membantu murid
mengatasi situasi problem sehari-hari dan menguragi tindak kekerasan (Elias
dkk., 1986).
3. Program kompetensi sosial untuk remaja muda
Menurut Weissberg
& Caplan (1994), program untuk anak SMP/SMA ini memberikan instruksi
berbasis kelas dan membangun dukungan environmental yang didesain untuk:
a) Mempromosikan kompetensi sosial dengan meningkatkan
kontrol diri, pengelolaan stres, melibatkan dalam tanggung jawab pembuatan
keputusan, pemecahan problem sosial, dan meningkatkan keahlian komunikasi.
b) Meningkatkan komunikasi antara personil
sekolah dengan murid.
c) Mencegah perilaku antisosial dan agresif,
pelecehan dan perilaku seksual.
Evaluasi terhadap
program ini cukup positif. Murid yang terlibat dalam program menunjukkan
perilaku agresif yang lebih kecil, lebih punya banyak pertimbangan untuk
memecahkan masalah, strategi manajemen stres yang lebih baik, dan lebih
menghargai nilai-nilai sosial (Weissberg, Barton, & Shriver, 1997).
4. Tiga C Manajemen Kelas dan Sekolah
David dan Roger Johnson
(1999) menciptakan program ini untuk menekankan arti penting dari pemberian
bimbingan pada murid untuk mempelajari cara mengatur perilaku mereka sendiri.
Program tersebut adalah program C :
a) Cooperative
community (komunitas yang kooperatif)
b)
Constructive conflict resolution (resolusi
konflik yang konstruktif
c) Civic
values (nilai-nilai kewarganegaraan
5.
Dukungan untuk Pengelolaan Kelas Berpusat
pada pembelajaran : Classroom
Organization and Management Program (COMP)
Program COMP yang
dikembangkan oleh Carolyn Evertson dan Alene Harris (1999), mendukung kerangka manajemen
kelas yang menekankan pembelajaran murid dan membimbing murid untuk bertanggung
jawab atas keputusan mereka sendiri, perilaku mereka, dan pembelajaran mereka.
COMP menekankan pencegahan problem, integrasi manajemen dan pengajaran,
keterlibatan murid, dan kolaborasi profesional antar-guru. Program ini
diimplementasikan melalui workshop training, aplikasi kelas, dan releksi
kolaboratif. Riset telah menunjukkan bahwa COMP menghasilkan perubahan positif
dalam perilaku guru dan murid (Evertson & Harris, 1999).
Referensi:
Santrock, John W. (2004). Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Referensi:
Santrock, John W. (2004). Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
0 komentar